PANGKALPINANG,MERCUSUAR.NET,- Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (K-SPSI) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Darusman mengatakan pasti siap mendampingi ratusan honorer yang akan diputus kontrak oleh Pemprov Babel.

“Hanya saja, para pekerja PHL atau honorer ini tidak menjadi anggota dari Serikat Pekerja, jadi kami di SPSI tidak bisa secara langsung mendampingi atau mengadvokasi mereka dalam memperjuangkan hak-haknya. Tapi setidaknya kami siap dijadikan tempat berkonsultasi dan kami siap mengarahkan bagaimana mereka dapat memperjuangkan hak-haknya sebagai pekerja, entah itu dengan mendatangi Disnaker atau meminta atensi dari Komisi IV DPRD yang membidangi ketenaga-kerjaan.”kata dia kepada wartawan Jumat (26/1).

Menurut Darusman rencana PHK massal yang akan menyasar tenaga PHL/honorer dilingkungan pemprov Babel dinilai sebagai salah satu contoh ketidak-berpihakan negara melalui UU Omnibuslaw Cipta Kerja terhadap hak-hak pekerja.

“Ya ini salah satu dampak pemberlakuan UU.Omnibuslaw Cipta Kerja, pemutusan hubungan kerja secara sepihak dan merugikan pekerja itu terkesan sangat mudah, berbeda dengan aturan ketenagakerjaan yang lama.”kata Darusman.

Selanjutnya dia mengatakan terlepas dari latar belakang kebijakan yang ditempuh pemprov Babel ini, pihaknya berharap agar setidaknya ada pendekatan humanis seperti pemberian pesangon agar pekerja yang mendadak kehilangan mata pencaharian ini memiliki cukup kesempatan untuk mencari pekerjaaan baru ataupun memulai usaha.

“Kita tidak tau apa yang melandasi keputusan pemprov untuk melakukan pemberhentian massal ini, apakah karena keuangan daerah sedang terganggu atau seperti apa. Tetapi terlepas dari itu, seharusnya para pekerja ini setidaknya tetap mendapatkan semacam pesangon atau apalah namanya.”kata Darusman.

Lebih lanjut dia katakan kondisi PHK terhadap pekerja pemerintah khususnya PHL/honorer sangat subjektif dan justru memberi contoh yang kurang baik kepada perusahaan swasta. Sebagai regulator ketenaga-kerjaaan, pemerintah diberbagai tingkatan seolah memiliki keistimewaan untuk tidak mengindahkan aturan ketenaga-kerjaan yang mereka ciptakan sendiri. Contoh paling sederhana adalah tidak diterapkkannya standart Upah Minimum bagi tenaga PHL/honorer dengan dalih badan pemerintah bukan lembaga bisnis, padahal didalam aturannya sama sekali tidak ada ketentuan yang memberikan pengecualian bagi lembaga pemerintah untuk tidak menerapkan Upah Minimum.

“Fenomena seperti ini terlihat sudah sangat lazim dan terjadi hampir disemua pemerintahan di Indonesia, dari sisi upah, pelindungan tenaga kerja, lembaga pemerintah justru semacam mendapat pengecualian untuk tidak menjalankan regulasi ketenaga kerjaan. Apalagi selama ini belum ada pekerja honorer atau PHL ini dimanapun yang berani menyuarakan atau memperjuangkan nasib mereka, sehingga pemerintah merasa baik-baik saja dengan segala pengecualian ini. Saya berani katakan, negara ini tidak sedang baik-baik saja dalam hal pemenuhan hak dan perlindungan ketenaga-kerjaan.”kata dia.(Jo)