Oleh Fakhruddin Halim

RUPANYA ucapan Penjabat Gubernur Kepulauan Bangka Belitung, Suganda Pandapotan Pasaribu soal “maling besar” masih saja menjadi diskursus oleh segelintir pihak. Bahkan ada nuansa kecurigaan.

Meskipun suara-suara yang mempertanyakan ucapan tersebut tetap harus dinilai positif sebagai bagian dari kontrol sosial oleh publik.

Apalagi sejak beberapa tahun terakhir gerakan kritis ada yang menilai eksistensinya melemah. Entah dengan berbagai sebab. Adanya kelompok kritis sangat penting sebagai kekuatan penyeimbang. Suara kritis ini harus pula kita hargai sebagai sesuatu yang positif.

Hanya saja, menafsirkan atau menginterpretasi satu ucapan atau teks ada kalanya tak bisa secara apa adanya.

Sebab, butuh berbagai pendekatan. Paling tidak secara teori hermeneutika perlu dilihat aspek yang melatarbelakangi ucapan atau teks, ucapan itu sendiiri, konteks dan kontekstualisasi. Belum lagi aspek sosiologis, kultural dan lainnya.

Ini perlu pendekatan atau metode dan teknik menafsirkannya dilakukan secara holistik dalam bingkai keterkaitan antara teks atau ucapan, konteks, dan kontekstualisasi.

Ucapan Suganda dilatar belakangi oleh berbagai informasi yang dia terima. Lalu, diungkapkan ke sejumlah pemimpin redaksi media massa. Dengan harapan media massa ikut mengawasi kinerja pemerintah.

Secara faktual pula, soal ke KPK memang dia ke KPK bahkan bertemu dengan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata.

Soal laporan, Suganda tidak pernah menampiknya. Bahkan berulangkali pula pernyataan diungkapkan dan dikutip sejumlah media massa.

Nah ini lagi-lagi soal interpretasi. Barangkali kita membayangkan laporan yang dimaksud atau dalam benak kita adalah sebagaimana laporan dari berbagai pihak yang dilengkapi dengan foto copy data-data atau setumpuk dokumen yang diserahkan ke KPK? Lalu muncul nama A,B, C dan seterusnya?

Jika ini yang kita pikirkan, ini sama artinya pemikiran kita. Bukan apa yang sesungguhnya terjadi. Artinya kita ingin ucapan atau tindakan Suganda harus sesuai dengan apa yang kita pikirkan. Ini lah pangkalbalanya.

Mengapa pula laporan harus kita tafsirkan secara rigit atau kaku? Komandan upacara melaporkan upacara siap dimulai ke inspektur upacara cukup dengan ucapan, “upacara siap dimulai, laporan selesai.”

Ada pula keterangan Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri yang menyatakan sebagaimana dilansir dari Tribun Tangerang tidak ada laporan Suganda ke bagian Pengaduan Masyarakat (Dumas) KPK.

Bisa jadi benar. Sebab, Suganda bisa saja melaporkan berbagai informasi yang dia terima ke bagian pencegahan. Mengapa? Bisa jadi karena baru sebatas informasi awal.

Jadi masih butuh pendalaman. Sehingga cukup dilaporkan ke bagian pencegahan atau bisa jadi disampaikan secara lisan ke Alexander Marwata ketika dia bertemu di KPK.

Dan mungkin baru sebatas itu sesuai dengan kadar informasi yang Suganda terima. Maka, bisa jadi kita yang terlalu bersemangat sehingga ucapan Suganda harus sesuai dengan pemikiran kita atau kita terlalu bersemangat menafsirkan atau menginterpretasi ucapan Suganda.

Belakangan, di sejumlah media online, bukan hanya soal maling besar yang diributkan. Tapi juga soal mengapa Suganda mengangkat staf khusus orang “luar”. Barangkali maksudnya bukan putra daerah.

Secara awam, bisa jadi terhadqp satu ucapan atau teks kita hanya memiliki perspektif hitam atau putih. Kalau tidak benar, ya salah. Padahal benar dan salah adalah satu proses sehingga sampai pada satu kesimpulan.

Jika hanya menilai secara awam, memang penuh dengan ketegangan, karena yang ada hanya hitam atau putih. Padahal ukuran besar dan kecil saja kita bisa berbeda pendapat.

Dalam hal tertentu bisa jadi benar cara pandang hitam atau putih. Tapi tidak tepat kalau semua peristiwa harus dinilai secara hitam atau putih.

Kalau ditanya ke orang awam, 1 x 1 sama dengan 700. Pasti akan dijawab salah. Tapi kalau ditanyakan ke ahli hikmah. Pasti jawabnya benar. Lho kok bisa?

Sederhana saja jawabnya. Jika anda sekali menanam benih kebaikan, itu seumpama menanam sebutir benih. Dari sebutir benih, akan menumbuhkan tujuh bulir, dan tiap-tiap bulir ada seratus biji.

Maka, Suganda mengucapkan menerima informasi ada “maling besar”, lalu dia ke KPK itu adalah fakta. Sekali pun tidak pernah dia bantah. Soal kita punya tafsiran, itu adalah soal pikiran kita.

Kita berprasangka baik, Suganda punya niat baik. Ucapannya dan tindakannya bisa dia pertanggung jawabkan. Keberanian dia untuk terbuka harus kita apresiasi. Namun, tidak semua hal harus dia ungkapkan ke publik karena dengan berbagai pertimbangan terutama soal azaz praduga tak bersalah, harus pula kita hormati sehormat-hormatnya.

Yang tahu sesungguhnya hanya Penjabat Gubernur Kepulauan Bangka Belitung Suganda Pandapotan Pasaribu, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dan Tuhan. Selebihnya, entahlah…(*)