2 dari 2 halaman

Negara hukum itu berarti semua tindakan dan kebijakan negara harus dilandaskan kepada hukum. Hukum yang bagaimana? Hukum yang adil dan mengandung kepastian. Hukum itu dirumuskan oleh negara ke dalam norma-nirma yang bersifat mengatur dan dapat dilaksanakan di dalam praktek.

Yaitu hukum yang dirumuskan oleh negara dan diundangkan, namanya hukum positif, yakni hukum yang berlaku di negara kita. Selain hukum positif itu ada hukum yang hidup dalam pikiran, perasaan dan kesadaran tiap orang, baik yang berasal dari ajaran agamanya, adat atau kebiasaannya.

Tugas negara adalah meramu, merumuskan dan mengangkat kesadaran hukum masyarakat itu, dengan menimbang-nimbang kemajemukan, manfaat dan kebutuhan hukum untuk merumuskannya menjadi hukum positif yang berlaku.

Pedoman utamanya adalah asas keadilan dan kepastian hukum. Hukum harus adil dengan menjaga keseimbangan dan kepentingan semua orang sehingga tidak ada yang dirugikan. Hukum harus pasti, jangan multitafsir. Hukum menjamin rasa aman masyarakat karena sudah ada ketentuan hukum yang pasti.

Oleh karena negara kita ini majemuk di satu pihak, tetapi dilain pihak juga negara kesatuan, maka hukumpun juga harus seperti itu. Dalam hukum private seperti perkawinan, kewarisan, pengangkatan anak dll kita akui kemajemukan hukum. Hukum private Islam berlaku bagi umat Islam.

Begitupun hukum agama lain serta adat istiadatnya berlaku pula buat mereka. Negara memfasilitasi keberlakuan hukum-hukum tersebut dengan menyediakan lembaga dan perangkatnya yang diperlukan seperti pengadilan dan sabagainya.

Namun di bidang hukum publik seperti hukum administrasi negara, hukum lalu lintas, hukum pidana dan tata negara, kita berlakukan satu hukum positif yang sama bagi kepentingan rakyat dan penyelenggaraan negara. Ini adalah cermin sebuah negara kesatuan.

Oleh karena perumusan norma hukum publik itu dilakukan melalui proses legislasi, yakni sebuah proses politik yang melibatkan Presiden, DPR dan adakalanya juga DPD, maka semua pihak silahkan membawa aspirasi politiknya masing-masing untuk diperdebatkan dan dirumuskan bersama.

Kalau umat Islam ingin agar sebanyak-banyaknya kaidah-kaidah hukum Islam masuk dalam norma hukum positif di bidang publik, maka wakil-wakil partai Islam harus banyak di DPR. Presidennyapun atau wakil Presidennyapun harus dari golongan Islam agar aspirasi Islam terwujud dalam kenyataan.

Hal seperti itu wajar dan sah dalam negara demokrasi. Bung Karno juga mengatakan hal yang sama dalam pidatonya di sidang PPKI Tahun 1945 sejenak setelah penghapusan 7 kata dalam Piagam Jakarta. Tetapi kompromi harus tetap ada antara golongan Islam dan golongan Kebangsaan.

Adapun mengenai hukum-hukum agama di bidang peribadatan seperti solat lima waktu, solat sunat, puasa, zakat, haji dll Pemerintah tidak boleh mencampuri aspek hukumnya, Begitu juga dengan ibadat-ibadat agama lain. Negara wajib menghormati semua aturan itu.

Tugas negara dalam hal peribadatan ini adalah memfasilitasi, membantu dan memberikan jaminan pelaksanaan ibadat-ibadat itu terlaksana dengan leluasa tanpa hambatan. Inilah negara Pancasila, bukan negara Islam dan bukan pula negara sekuler.

Di negara Islam urusan ibadat keagamaan Islam langsung ditangani negara. Masjid dan pemeliharaannya dibangun dan dibiayai oleh negara. Imam dan khatib semuanya pegawai negara. Di Saudi Arabia, Pakistan dan Malaysia semua begitu.

Sementara di Republik Sekuler Philipina, agama dan negara dipisahkan total. Gereja Katolik Philipina berada di luar struktur negara Philipina. APBN dan APBD tidak boleh digunakan untuk membantu kegiatan lembaga agama apapun di Philipina. Agama sepenuhnya urusan swasta.

Negara kita memilih jalan tengah antara Negara Islam dengan Negara Sekuler seperti contoh tadi. Negara terlibat dalam pendidikan agama untuk menjaga moral masyarakat dan memfasilitasi serta membantu pelaksanaan ibadat agama-agama yang ada di negara ini.